Notice: Undefined index: WP_Widget_Recent_Comments in /var/www/html/diasporaidprod/wp-content/themes/eventim/functions.php on line 135
Admin Laman Diaspora, Author at Diaspora.id
menpanRB-1200x801.jpeg

14 Agustus 2018 Admin Laman Diaspora

Tersiarnya kabar tentang dibukanya kesempatan bagi ilmuwan diaspora Indonesia di berbagai negara dunia untuk bergabung menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) belakangan ini cukup membuat media massa dan ruang-ruang publik serta pemerintahan menjadi ramai. Perbincangan tentang skema dan regulasi ASN, alasan pemerintah membuat putusan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan ASN, menjadi sajian informasi yang sukar berhenti.

Kendati memasuki era revolusi industri 4.0 ini, berbagai macam jenis pekerjaan baru bermunculan, ASN selalu menjadi primadona bagi masyarakat Indonesia. Sebab, untuk bisa sampai pada posisi tersebut butuh usaha yang tidak mudah. Setiap kali pendaftaran ASN dibuka, jutaan masyarakat Indonesia tak pernah Lelah mencoba peruntungannya merebutkan posisi ASN yang kerap dibuka tidak lebih dari seratus posisi. Dan di tengah kondisi demikian, tiba-tiba saja Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) membuka kesempatan untuk ilmuwan diaspora menjadi ASN. Hal ini dengan tentu saja dengan sangat jelas akan menimbulkan peta persaingan baru di antara para pemburu CPNS yang belum beruntung.

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dalam rangkaian kegiatan Simposium Cendekia Kelas Dunia, 13 Agustus 2018, di Jakarta, memberikan kesempatan kepada 47 ilmuwan diaspora yang diundang untuk bertemu langsung dengan Hermawan Suyatman, Sekretaris Deputi Bidang SDM Aparatur. Sebuah acara yang menurut Sesditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti, sejak pertama kali digagas pada 2016, sampai saat ini telah menghasilkan impak yang luar biasa terhadap dunia keilmuan Indonesia dan dunia.

Dalam kesempatannya berbicara tentang “Peran dan Pemberdayaan Diaspora dalam Manajemen Aparatur Sipil Negara”, Hermawan mengungkapkan bahwa peta kebutuhan tenaga kerja di Indonesia saat ini benar-benar timpang. Ada banyak jenis pekerjaan yang belum mampu dikerjakan oleh orang Indonesia dengan kemampuan yang ada. Alasan mengapa ASN pada akhirnya dibuka untuk diaspora adalah demi memenuhi kebutuhan ini, terutama untuk memperkuat sumber daya yang ada dalam menghadapi era disrupsi ke depan dan dalam upaya mewujudkan pemerintah kelas dunia di tahun 2024.

“Selama ini, tenaga kerja Indonesia sangat banyak. Tetapi, tenaga kerja yang spesifik sangat sedikit dan kespesifikan itu dimiliki oleh diaspora,” tuturnya.

Tenaga kerja Indonesia saat ini didominasi oleh pelaksana administrasi. Jumlah ini tidak sesuai dengan kebutuhan suatu instansi di berbagai wilayah. Padahal rencana pengembangan birokrasi Indonesia ke depan adalah membangun birokrasi berkelas dunia sesuai dengan kondisi zaman. Di mana spesialisasi individu yang sesuai dengan kondisi sumber daya yang ada di sekitarnya merupakan urgensi.

Herman menjelaskan, bahwa Kemenpan RB membutuhkan sinergi antarsektor dan lembaga pemerintah untuk sama-sama merencanakan pembangunan berkesinambungan. Karena selama ini masih banyak peta pembangunan yang bertumpang tindih dengan program yang lain. Padahal ekspektasi masyarakat terhadap perubahan yang diinisiasi oleh negara sangatlah besar.

Dalam sesi diskusi bersama ilmuwan diaspora, kabar perihal pemanfaatan diaspora dengan menjadikan mereka bagian dari ASN menjadi topik yang hangat diperbincangkan.

Davin Setiamarga, Associate Professor of Molecular Biology di National Institute of Technology, Wakayama College, mengungkapkan kebingungannya tentang tujuan utama yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan menjadikan diaspora sebagai ASN. Karena menurutnya, menjadikan diaspora sebagai ASN bukanlah langkah utama yang harus diambil pemerintah.

Satria Zulkarnaen, seorang Research Scientist di RIKEN Center for Emergent Matter Science, Jepang, juga turut memberikan pandangannya terkait pemanfaatan diaspora. Ia menilai, langkah Kemenpan RB menjadikan diaspora sebagai ASN harus dibuatkan format atau platformnya agar skemanya jadi lebih jelas. Jika kedua hal tersebut tidak usai, maka dapat dipastikan impak dari perekrutan diaspora tidak akan terasa bahkan tidak ada. Ia menambahkan, kecuali pemerintah Indonesia mau meniru apa yang dilakukan oleh lembaga tempatnya bekerja di Jepang dalam hal perekrutan diaspora dari satu instansi ke instansi lainnya.

Biasanya dalam merekrut ilmuwan, lembaga di Jepang tidak pernah merekrutnya secara sendirian. Ada komponen yang juga menjadi bagian terpenting dalam proses perekrutan, seperti perlatan penelitian, laboratorium, hingga sumber daya manusia yang bisa membantu proses di dalamnya. Meskipun kerja seorang ilmuwan pada akhirnya adalah bekerja dalam kesunyian, tetapi keberadaan rekan kerja menjadi nilai penting yang tidak bisa diabaikan.

“Jika ilmuwan direkrut sendiri, ia akan sulit menjalankan tugasnya, meneliti dan berinovasi,” ungkap Satria.

Berkaca pada pengalaman yang telah dialami para diaspora, Herman menegaskan bahwa sebenarnya negara memberikan peluang kepada siapa pun untuk memilih. Terkait memanfaatkan atau tidak peluang yang telah diberi, itu dikembalikan pada individu masing-masing (diaspora). Sebab dalam menentukan hal tersebut, pemerintah harus mempertimbangkan keuangan yang dimiliki negara. Pemerintah tidak bisa serta merta memutuskan sesuatu tanpa didasari fakta dan pertimbangan terlebih dahulu. Meskipun setiap dari kita meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah adalah benar. Tetapi kebenaran tanpa data adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa dipercaya. []


SCKD-2018-Sri-Mulyani.jpeg

14 Agustus 2018 Admin Laman Diaspora

JAKARTA – Indonesia tengah mengejar ketertinggalan pembangunan, maka aset yang paling penting dalam segala aspek pembangunan adalah aset manusianya. Hal itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat memberikan kuliah umum dalam acara Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) 2018, Senin (13/8/2018) di Royal Kuningan Hotel, Jakarta. Dihadapan 48 ilmuwan Diaspora Indonesia dan perwakilan perguruan tinggi, Sri Mulyani mengatakan pemerintah tengah fokus dalam mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM).

“Ini adalah suatu era di mana Indonesia menempatkan manusia dengan pembangunan manusia sebagai prioritas yang besar, karena saya yakin bahwa Indonesia tidak mungkin untuk mencapai cita-cita kemerdekaan yang disampaikan para pendiri bangsa kita untuk selalu menjaga pemerintahan, kedaulatan, kedamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Sri Mulyani.

Tentu dengan kapasitas manusia yang tak hanya mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi yang mampu memimpin banyak orang. Terlebih lagi Indonesia akan memiliki bonus demografi dengan usia muda yang melimpah. Itu menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan pembangunan. Bonus demografi ini harus dioptimalkan dengan baik, apalagi Indonesia diprediksi menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kelima pada 2045.

“Dengan penduduk yang besar memberikan semacam kesempatan untuk mengejar tujuan pembangunan yang kita capai, maka investasi di bidang manusia jadi prioritas pemerintah sampai 2045,” ujarnya.

Sejak tahun 1998, lanjut Sri Mulyani, negara berkewajiban untuk menyisihkan minimal 20 persen dari APBN untuk pendidikan sebagai upaya meningkatkan kualitas SDM bangsa. Meski demikian, dia mengakui bahwa penggunaan anggaran masih belum dimanfaatkan secara maksimal dan optimal.

Memang anggaran APBN untuk pendidikan menjadi anggaran terbesar. Namun Sri Mulyani mengingatkan bahwa pembangunan kualitas manusia tak hanya direflesikan dengan besarnya jumlah anggaran saja.

Salah satu upaya pemerintah adalah dengan membangun infrastruktur secara merata. Karena semua manusia terutama masyarakat Indonesia tengah dihadapkan pada era teknologi yang serba cepat, maka tercukupinya infrastruktur yang memadai akan sangat berpengaruh untuk pembangunan negara dan bangsa ini.

“Membangun infrastruktur bukan lah hobi, melainkan ini adalah ketertinggalan sekaligus kebutuhan yang tak bisa ditunda. Ini adalah keniscayaa dari suatu negara untuk mencapai peningkatan kualitas manusia,” tegas mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Pada kesempatan itu juga Sri Mulyani mengungkapkan pentingnya kolaborasi antar ilmuwan dalam dan luar negeri. Seorang individu, imbuhnya, relatif lebih mudah untuk menjadi pintar. Sedangkan untuk menghasilkan jutaan manusia jenius di suatu bangsa merupakan tantangan yang harus dipecahkan bersama-sama.

Sri Mulyani pun menyadarai ilmuan diaspora yang kini hadir hanya lah sedikit dari lapisan masyarakat Indonesia yang memiliki kualifikasi di atas rata-rata. “Para cendekia, ilmuwan diaspora harus menjadi role model dan inspirator, menyelesaikan pekerjaan rumah negara. Seperti infrastruktur yang pembangunannya sedang dikejar saat ini harus dibangun berkelanjutan,” sebutnya.

Ia berharap para insan cendekia ini mampu menjadi pemikir dalam mencari solusi bagi Indonesia. Sebab kini kita dihadapkan pada dunia yang terus bergerak secara cepat. “Indonesia membutuhkan manusia seperti di rungan ini (ilmuan diaspora), tapi dikalikan 200 juta kali,” tutup Sri Mulyani. (Alawi)


sumarsam.jpg

Prof. Sumarsam

Winslow-Kaplan Professor of Music

Wesleyan University

I. Tanggal 24 April yang lalu, saya menerima surat dari Presiden Society for Ethnomusicology (SEM), salah satu dari organisasi musik paling besar di Amerika, yang isinya memberi kehormatan kepada saya sebagai “Honorary member of SEM” dengan dasar sbb: “Your scholarship on gamelan and wayang performance traditions has extended our discipline and inspired the SEM membership. Your mentorship of countless students and colleagues, both directly and by example, is held in high esteem, and the ways that you simultaneously embrace and speak to the various subfields among the disciplines of music scholarship is exemplary. You demonstrate not only a unique career, but one to which we all aspire.” Pemberian gelar kehormatan ini sudah saya terima, dan secara resmi akan diumumkan dan dirayakan di konferensi tahunan SEM pada bulan Nopember yang akan datang, di Albuquerque, New Mexico.

II. Hari Sabtu tanggal 12 Mei yang lalu saya memimpin pentas pentunjukan tari dan gamelan di Meyer Auditorium, Smithsonian Washington DC. Rombongan terdiri dari mahasiswa/musisi dari Wesleyan University dan KBRI. Penarinya Urip Sri Maeny, pensiunan guru tari di Wesleyan, dan Pamardi Tjiptopradonggo, dosen/penari dari ISI Solo, mengajar di Wesleyan sebagai tindak lanjut dari MoU antara ISI Solo dan Wesleyan yang saya rintis tahun lalu. Pertunjukan bisa ditonton di laman berikut ini: https://www.facebook.com/FreerSackler/videos/10156296174823788/

Dance from Indonesia: Classical and Modern Live from Meyer Auditorium, Freer Gallery of Art

Posted by Smithsonian’s Freer and Sackler Galleries on Saturday, May 12, 2018

The stories of the mask dance drama are based on the Panji tales. The tales feature the adventure of the prince Panji in search of his elusive bride, Sekartaji. These romances concerns with a wandering prince searching for a wandering princess; they are full of mysterious disguises, resurrections, transformations, and disappearances. Panji’s confrontation with his rivalry, such as a villain king, is another important part of the plot. Tonight, we present two dances of the characters from the mask dance drama: Klana and Gunungsari. Panji’s principal adversary in seizing the heart of Sekartaji is the king Klana, a strong, violent and rash king. The Klana dance represents the various moods—some heroic, some romantic—of the king. Gunungsari is a brother of Panji. He is a refined character. In assisting Panji searching for his bride, Gunungsari confronts the king Klana. Contemporary dance: Aside from being prominent dancer and choreographer of traditional dance and dance drama, Pamardi is also trained as and a practitioner of contemporary dance form. Tonight he presents one of his contemporary work entitle Amuck.

III. Pada tanggal 9-16 Agustus yang akan datang, saya akan membawa rombongan Wesleyan Gamelan Ensemble untuk berpartisipasi dalam Internasional Gamelan Festival di Solo, yang diselenggarakan oleh Kemdikbud dan Dirjen Kebudayaan. Terdiri dari graduate students, staff, dan lulusan Wesleyan, 20 musisi kami akan mementaskan gending tradisional dan eksperimental. Rencananya, festival juga akan launching buku saya, Memaknai Wayang dan Gamelan: Temu Silang Jawa, Islam, dan Global, kumpulan terjemahan esei-esei saya, dengan penutup hasil awal riset saya yang mutakhir tentang Islam dan seni pertunjukan Jawa (sampul buku, lihat di bawah).


ilustrasi-laut-1200x722.jpg

Dwi Susanto

Laut Indonesia merupakan satu-satunya penghubung antara Samudra Pasifik bagian tropis dan Samudra Hindia, yang biasa dikenal dengan Arus Lintas Indonesia/Arlindo (Indonesian Throughflow; Gambar 1). Selain itu wilayah Indonesia merupakan pusat konveksi atmosfer (deep atmosphere convection) yang turut menggerakkan sistem sirkulasi iklim dunia (Walker Circulation) yang mempunyai dampak sangat besar bagi kondisi cuaca dan iklim ekstrem di Benua Amerika dan Eropa. Oleh karena itu wilayah kita ideal untuk penelitian laut dan iklim ekstrem global. Keunikan ini membuat banyak peneliti dunia mulai mengkaji proses fisika dan dinamika laut serta iklim di Indonesia serta dampaknya terhadap sirkulasi laut dan iklim dunia. Namun, konsekuensinya wilayah kita juga menjadi rentan terhadap dampak iklim ekstrem seperti ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) yang dampaknya sangat besar dan terhadap berbagai bidang lainnya seperti perikanan, pertanian, lingkungan dan ekosistem, kesehatan, kehutanan, kenaikan permukaan laut, serta perekonomian negara.

Oleh karena itu, Pusat Penelitian Laut Dalam (P2LD) – LIPI (Ambon) bekerja sama dengan University of Maryland (UMD), College Park, USA dan First Institute Oceanography (FIO), China akan melaksanakan ekspedisi laut nusantara pada akhir Juni sampai dengan awal Agustus 2018. Principal investigator dari LIPI dipimpin oleh Dr. Augy Syahailatua (Direktur P2LD), dan Dr. R. Dwi Susanto dari University of Maryland dan Dr. Zexun Wei (FIO). Tujuan ekspedisi laut ini untuk mengukur variabilitas arus lintas Indonesia (ARLINDO/Indonesian throughflow) di Selat Makassar dan Lombok, mengukur variasi upwelling dan mixing di Selatan Pulau Jawa dan Nusa Tenggara Barat, mengukur arus laut di teluk Ambon, serta memonitor kondisi laut di pusat Indian Ocean Dipole (sebelah Selatan Selat Sunda). Rangkaian peralatan oseanografi (mooring) akan diletakan di wilayah tersebut selama paling tidak satu tahun. Ekspedisi laut ini tidak hanya melibatkan peneliti dari LIPI, melainkan juga peneliti dari berbagai lembaga riset dan universitas yang tergabung dalam konsorsium samudera.

Gambar 1. Jalur arus lintas Indonesia (Arlindo) dan besar debit arus dalam satuan (Sverdrup, 1 Sv = juta meter kubik per-detik). Air dari Samudra Pasifik sebagian besar masuk melalui Selat Makassar, Lifamatola dan Selat Karimata. Sedangkan jalur keluar ke Samudra Hindia adalah Timor Passage, selat Ombai dan Lombok, serta selat-selat sepanjang Nusa Tenggara dan Selat Sunda (Gambar reproduksi dari publikasi Susanto et al., 2016).

Indonesian Throughflow
Gambar 1 – Indonesian Throughflow

 


IMG_4470-1200x900.jpg

Anto Mohsin, Ph.D.

Dari tanggal 14 hingga 16 November 2017 lalu, di Doha ibu kota Qatar telah diadakan konferensi internasional World Innovation Summit for Education (WISE). Pertemuan dua tahun sekali ini telah dilangsungkan sejak 2009 dan telah berkembang menjadi forum mendunia, di mana para pemikir, praktisi, pengamat, dan penanam modal di bidang pendidikan, teknologi, dan media, berkumpul dan saling berbagi informasi. Tema konferensi kali ini adalah “Co-exist, Co-create: Learning to Live and Work Together” (Hidup Bersama dan Mencipta Bersama: Belajar Hidup dan Bekerja Bersama).  

Acara dilangsungkan di Qatar National Convention Center (QNCC) yang letaknya berseberangan dengan Education City (Kota Pendidikan) tempat 8 universitas asing yang diundang Qatar membuka kampus di sini dan juga tempat universitas Hamad Bin Khalifa berdiri.

Para peserta konferensi WISE kali ini datang dari lebih 100 negara. Mereka memberikan ceramah, mendengarkan presentasi, berdiskusi, dan saling bertukar pikiran mengenai masa depan pendidikan.

Acara pertemuan ini seperti juga acara-acara sebelumnya mendapat dukungan penuh pemerintah Qatar. Ibunda Emir Qatar yang juga merupakan Ketua Yayasan Qatar untuk Pendidikan, Sains, dan Pembangunan Masyarakat Sheikha Moza bint Nasser hadir memberikan kata sambutan. Beliau didampingi salah satu putrinya Sheikha Hind bin Hamad al-Thani yang berperan sebagai Wakil Ketua dan Direktur Eksekutif Yayasan Qatar. Dalam acara ini juga turut hadir Ibu Negara Turki Emine Erdogan.

Pemilihan nama konferensi ini dan juga singkatannya “wise,” Bahasa Inggris yang artinya “bijak” sangat tepat karena konferensi WISE merupakan ajang berbagai aktivitas yang sangat berharga, bermanfaat, dan bijak. Contohnya selain sesi diskusi dan ceramah, ada juga sesi pembelajaran untuk murid-murid umur 12–14 tahun dan guru-guru mereka. Juga secara tersirat, tujuan pendidikan di berbagai negara adalah untuk menghasilkan manusia-manusia berpengetahuan yang bijak.

Tahun ini saya berkesempatan hadir dalam pertemuan ini, bertemu dan mendengarkan beberapa inovator pendidikan yang berpengaruh. Salah satunya Fareed Zakaria, orang Amerika keturunan India ini adalah jurnalis dan pemandu acara Fareed Zakaria GPS di CNN dan pengarang beberapa buku yang telah banyak dibaca orang. Salah satu karyanya berjudul In Defense of Liberal Education. Di dalam buku ini Zakaria menjelaskan pentingnya model pendidikan tinggi Amerika Serikat yang luwes menggabungkan bidang-bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), humaniora, dan ilmu-ilmu sosial dalam kurikulum pendidikan tinggi.

Pengalamannya mengenyam pendidikan di negara asalnya India dan negara barunya Amerika Serikat membuahkan suatu pelajaran berharga. Inti dari apa yang Zakaria sebut pendidikan Liberal Arts ini adalah mengajarkannya bagaimana menulis dengan baik. Karena dengan menulis dengan baik, akan membuahkan keahlian berpikir dengan baik. Kurikulum pendidikan tinggi yang berbasis Liberal Arts akan mengajar dan melatih para mahasiswa dan mahasiswi (apa pun jurusan mereka di perguruan tinggi) untuk dapat menulis, berpikir, dan berkomunikasi dengan baik dan jelas. Kurikulum ini juga dapat mencetak para lulusan universitas yang akan selalu bersemangat untuk kerap belajar seumur hidup.

Banyak yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di universitas-universitas di Amerika Serikat tahu kalau kurikulum Pendidikan Tinggi di AS tidak kaku dalam hal penjurusan sehingga banyak mahasiswa dan mahasiswi bebas dan bahkan dianjurkan untuk mengambil mata kuliah-mata kuliah lain yang berbeda dengan jurusannya. Yang belajar biologi bisa mengambil kelas teater, musik, atau tari, misalnya. Sebaliknya yang mengambil jurusan sastra Inggris bisa mengambil kelas fisika, matematika, astronomi, atau kelas-kelas lainnya.

Persilangan pendidikan seperti ini melatih mahasiswa dan mahasiswi untuk memiliki wawasan luas, berpandangan ke depan, dan terbuka untuk memahami berbagai dasar keilmuan (epistemologi). Sehingga di AS tidak aneh mahasiswa lulusan teknik bisa menjadi sejarawan, mahasiswa lulusan ilmu politik dan biologi bisa belajar jadi dokter, atau mahasiswi yang awalnya ingin jadi dokter bisa menjadi sastrawan. Pendidikan seseorang tidak harus selalu linear dan kaku.

Selain model pendidikan Amerika Serikat, ada hal lain yang dibahas di pertemuan WISE.  Kali ini WISE juga mengundang Kishore Mahbubani, Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Mahbubani, Zakaria, dan Vicky Colbert mengisi acara diskusi mengenai pendidikan di era post-truth di mana merebaknya berita-berita palsu (fake news) membuat fakta-fakta yang objektif kalah pengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang hal-hal yang berkenaan dengan kepercayaan pribadi dan emosi pembaca berita.

WISE juga mendatangkan novelis asal Nigeria Chimamanda Ngozi Adichie. Kuliah umum Adichie yang direkam oleh Ted Talk yang berjudul “The Danger of a Single Story” (Bahaya Cerita Tunggal) telah ditonton lebih dari 13 juta kali oleh pemirsa. Pesan inti Adichie adalah kalau kita hanya mau mendengar atau hanya mau tahu satu cerita saja mengenai seseorang, komunitas, atau negara, kita berisiko untuk tidak memahaminya secara utuh, individu, komunitas, atau negara tersebut. Konsekuensinya kita hanya bisa membentuk opini yang dangkal dan bias.

Di salah satu sesi yang dipandu oleh Professor Hariclea Zengos dari Northwestern University di Qatar (NU-Q), Adichie berpesan kalau kita semua perlu banyak membaca buku. Bukan saja buku-buku pelajaran, tetapi juga novel dari berbagai negara. Dengan begitu kita akan belajar kalau dunia yang kita tinggali bersama ini tidak hitam putih dan banyak kebudayaan-kebudayaan lain yang hidup berdampingan dengan kebudayaan kita. Sehingga kita bisa memahami berbagai bentuk kehidupan manusia, mengembangkan empati, dan menjadi lebih terbuka akan kebinekaan kemanusiaan.

Di sesi acara yang menghadirkan Dr. Amal Mohammed Al Malki (Dekan Pendiri Sekolah Humaniora dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hamad bin Khalifa), Saku Tuominem (inovator pendidikan asal Finlandia dan pendiri Idealist Group), dan Raul Gutierrez (pendiri dan Dirut perusahaan Tinybop yang membuat aplikasi pembelajaran anak-anak), mereka berdiskusi dengan peserta konferensi mengenai kunci kesuksesan para murid di abad ke-21. Menurut mereka tujuan utama pendidikan adalah mengajarkan kepada para murid bukan saja materi pendidikan dan perkuliahan, tetapi (dan yang lebih penting) bagaimana caranya untuk menyenangi aktivitas belajar. Pesan mereka sejalan dengan semangat mengembangkan kemampuan dan kemauan untuk belajar seumur hidup. Namun, belajar di sini memiliki arti yang luas, bukan saja yang berkenaan dengan pekerjaan dan profesi, tapi juga termasuk belajar memecahkan berbagai persoalan baik itu kecil atau besar.

Hadiah prestisius WISE Prize for Education dengan uang senilai 500.000 dolar kali ini dianugerahkan kepada pendiri dan rektor Dr. Patrick Awuah, pendiri dan rektor Universitas Ashesi di Ghana, universitas swasta nirlaba yang mengajarkan kurikulum interdisipliner sebagai kurikulum intinya.  Sheikha Moza bint Nasser memberikan penghargaan ini langsung ke Dr. Awuah di hadapan 2000 peserta konferensi.

Dr. Awuah pernah mengenyam pendidikan di Amerika Serikat dan sempat bekerja di perusahaan Microsoft. Namun, kemudian dia kembali ke negara asalnya untuk mendirikan universitas baru yang menurut visinya akan mencetak banyak tenaga dengan keahlian-keahlian untuk abad ke-21, yaitu berpikiran kritis dan mandiri, serta berperilaku yang etis dan mampu bekerja sama dengan banyak orang. Dengan kata lain, Universitas Ashesi didirikan untuk mencetak pemimpin-pemimpin baru Afrika untuk masa depan. Usaha Dr. Awuah telah membuahkan hasil karena Universitas Aseshi telah banyak mencetak sarjana-sarjana berkualitas di Afrika.

Untuk suatu acara tahunan yang cukup mengglobal, saya sangat berharap bertemu dengan beberapa pakar pendidikan dari Indonesia di konferensi WISE tahun ini. Sayangnya saya hanya sempat bertemu dengan bendahara dari Universitas Presiden di Indonesia. Mungkin ada delegasi lain yang hadir yang saya tidak sempat bertemu. Akan tetapi sudah waktunya lebih banyak lagi pakar, pemikir, dan praktisi pendidikan di Indonesia berinteraksi dengan kolega-kolega mereka dari negara-negara lain.

Orientasi pendidikan kita yang selama ini condong ke dalam harus juga ke luar, karena di era globalisasi ini sudah waktunya kita juga belajar dari pengalaman tokoh-tokoh pendidikan negara lain, mendalami model-model pendidikan di tempat-tempat lain, dan berbagi pengalaman pendidikan di Indonesia dengan bangsa-bangsa lain. Satu usaha ke arah itu bisa dimulai dengan mendengar Wise Words Podcasts https://soundcloud.com/wisewordspodcast yang berisi rekaman-rekaman perbincangan dengan beberapa tokoh pendidikan ternama.

Semua ini tentunya agar wawasan, pengalaman, cara pandang, pendekatan, dan proses pembelajaran di tanah air menjadi lebih baik. Sehingga bangsa kita tidak akan tertinggal dalam mencetak lulusan-lulusan yang siap menghadapi tantangan-tantangan di abad ke-21.

Anto Mohsin, Ph.D., pemerhati pendidikan di Qatar dan dosen di Liberal Arts Program, Northwestern University, Qatar.

 

 


hardiknas-copy.jpg

Anto Mohsin, Ph.D.

Setiap tanggal 2 Mei bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Peringatan ini, seperti banyak peringatan hari-hari nasional lainnya, sudah menjadi semacam ritual tahunan lengkap dengan berbagai atributnya. Biasanya selain upacara bendera di kantor-kantor pemerintah, dikumandangkan juga tema yang berkenaan dengan hari nasional tersebut. Tema tahun ini adalah “Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan”. Berbagai surat kabar ramai meliput berita ini. Bersamaan dengan itu, tulisan-tulisan seputar pendidikan nasional ramai menghiasi media massa, baik cetak maupun maya.

Sayangnya walau sudah puluhan dan mungkin ratusan tulisan yang ditulis dan dicetak, pemikiran pendidikan nasional biasanya berkisar seputar hal-hal yang itu saja. Pada umumnya tulisan-tulisan mengangkat kisah hidup pahlawan nasional Ki Hajar Dewantara (yang hari lahirnya dijadikan Hardiknas) beserta pemikiran dan usahanya menjalankan pendidikan melalui Taman Siswa. Akan tetapi kebanyakan ulasannya singkat, tidak mendalam, tidak reflektif, dan tidak berdampak banyak bagi kehidupan bangsa.

Ambil contoh keputusan penting yang dilakukan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (nama lahir Ki Hajar Dewantara) untuk menanggalkan gelar kebangsawanannya. Ini sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh banyak akademisi kita saat ini yang condong menulis sederet gelar di depan dan di belakang nama mereka.  Sebenarnya cukup gelar tertinggi yang dipakai. Karena itu pun sudah menunjukkan prestasi yang baik. Yang lebih penting adalah bentuk kontribusinya di dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Selain itu jarang ada pemikiran yang baru dan segar untuk memajukan pendidikan nasional kita di seputar Hardiknas. Apalagi praktik-praktik pendidikan yang inovatif untuk benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa. Biasanya setelah 2 Mei berlalu, upacara selesai, liputan di surat kabar berhenti, kita kembali ke keadaan semula, sibuk dengan rutinitas sehari-hari. Bangsa Indonesia pun pelan-pelan akan melupakan masalah-masalah serius pendidikan nasional. Ini berlanjut biasanya sampai peringatan hari nasional berikutnya.

Jika dampak dari peringatan Hardiknas hanya sekadar ritual simbolis ketimbang perbincangan serius dan pembahasan kritis dan berisi mengenai pendidikan nasional kita, bagaimana kita sebaiknya memahami Hari Pendidikan Nasional?

Kalau kita mau jujur Hari Pendidikan Nasional sebenarnya ditetapkan dan diperingati untuk memperkuat identitas nasional atau keindonesiaan kita, bukan untuk mengulas pendidikan nasional secara mendalam. Ini karena banyak keputusan pemerintah mengenai hari-hari nasional dicetuskan untuk menghargai sumbangan berharga perorangan yang telah berjasa bagi bangsa atau untuk memperingati momen-momen bersejarah. Peringatan hari-hari nasional seperti Hardiknas diselenggarakan sebenarnya untuk memperkuat identitas bangsa, kata kita.

Dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote, warga Indonesia sadar ada hari nasional yang berarti tanggal 2 Mei. Untuk sesaat, perhatian kita tertumpu pada berita mengenai Hardiknas ini di surat kabar, televisi, dan internet. Berbagai tulisan yang muncul mengingatkan kita mengenai tokoh sejarah Ki Hajar Dewantara yang pernah berdedikasi mengusahakan pendidikan nasional yang lebih merata bagi rakyat Indonesia, bukan hanya bagi kaum elite saja. Dengan memperingati Hardiknas secara kolektif, keIndonesiaan kita akan terbangun dan terjaga.

Menanamkan dan memelihara rasa kebangsaan tentu penting dan perlu. Namun, kalau kita benar-benar mau membahas secara substantif mengenai pendidikan nasional, sebenarnya kita tidak perlu Hardiknas untuk melakukan hal ini.  Setiap saat seharusnya kita memikirkan dan membincangkan hal ini. Namun, karena ada Hardiknas, sayangnya bangsa Indonesia terlena. Berpikir seakan-akan perlu satu hari tertentu saja setiap tahun untuk memikirkan masalah-masalah pendidikan bangsa. Hasilnya sedikit sekali pemikiran-pemikiran dan praktik-praktik inovatif yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia untuk memajukan sistem pendidikan nasional ke arah yang lebih baik.

Ini bukan berarti kita tidak perlu merayakan Hardiknas atau tidak mengapresiasi jasa-jasa Ki Hajar Dewantara. Saya yakin beliau akan lebih menghargai usaha memajukan pendidikan nasional yang berarti daripada sekadar hanya memperingati secara ritual simbolis hari lahirnya setiap tahun. Apalagi dia pernah menulis artikel kritis tentang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dengan judul “Seandainya Saya Seorang Belanda” (Als Ik Eens Nederlander Was) di surat kabar De Express pada 13 Juni 1913.

Kalau kita lihat negara-negara lain, baik yang menjadi tujuan pendidikan atau yang dijadikan contoh pendidikan oleh bangsa Indonesia (dalam hal ini saya bukan hanya bicara negara-negara Barat, tapi juga negara-negara non-Barat di mana banyak murid dan mahasiswa kita belajar mengenai kajian Islam, misalnya), apakah mereka punya Hari Pendidikan Nasional yang dirayakan setiap tahun? Jawabannya adalah tidak. Namun, bukan berarti mereka tidak memikirkan secara serius soal pendidikan nasionalnya. Bahkan beberapa negara sudah mulai memikirkan pendidikan internasional mereka (bukan hanya pendidikan nasionalnya) dengan membuka sekolah-sekolah di negara lain atau merekrut para mahasiswa dan mahasiswi asing. Biasanya lebih banyak orang asing yang belajar di suatu negara, lebih tinggi reputasi sistem pendidikan negara itu di dunia.

Ambil contoh Qatar, tempat saya mengajar dan tinggal dalam beberapa tahun belakangan.  Salah satu tujuan nasional Qatar yang tertuang dalam visi nasional tahun 2030-nya adalah membangun sumber daya manusianya, selain membangun masyarakat, ekonomi, dan lingkungannya. Sejak tahun 1995 ketika Yayasan Qatar untuk Pendidikan, Sains, dan Pembangunan Masyarakat didirikan, pemerintah Qatar sudah melakukan banyak hal berarti dalam bidang pendidikan.

Melalui Yayasan Qatar dan institusi-institusi terkait lainnya seperti Qatar National Research Fund, pemerintah Qatar kerap mencari dan menerapkan ide-ide baru untuk memajukan sistem diknas mereka. Studi-studi mengenai pendidikan mendapat dana dan perhatian tinggi bukan saja dari pemerintah, tapi juga praktisi pendidikan itu sendiri seperti para guru dan dosen. Salah satu hasilnya adalah pendidikan ilmu komputer inovatif “Alice Middle East” yang membuat lebih banyak murid-murid sekolah dasar dan menengah lebih tertarik belajar mengenai komputer.

Contoh lainnya acara pertemuan World Innovation Summit for Education (WISE) yang diadakan dua tahun sekali sejak tahun 2009. Acara ini mengundang pakar-pakar pendidikan dari seluruh dunia untuk membahas ide-ide dan pendekatan-pendekatan baru dalam bidang pendidikan. Berbagai tantangan, solusi, dan peluang di bidang pendidikan dibahas secara serius di konferensi internasional ini.

Dalam hal pendidikan dini dan dasar, di Qatar sekolah-sekolah dengan kurikulum nasional negara-negara luar seperti India, Filipina, Amerika Serikat, dan Inggris bisa berdiri, terbuka menerima, dan dapat mendidik murid dari berbagai bangsa. Bahkan pemerintah Qatar menghibahkan tanah untuk pendirian beberapa sekolah ini. Contohnya MES Indian School yang didirikan di tahun 1974 di atas tanah hibah 6.1 hektar. Memang sekolah-sekolah ini didirikan awalnya untuk menampung anak-anak para pekerja asing yang berada di Qatar. Akan tetapi, sejalan dengan waktu, sekolah-sekolah ini berkembang dan menyerap dan mengajar murid dari banyak bangsa.  

Dalam hal pendidikan tinggi, pemerintah Qatar telah berhasil mengundang 6 universitas dari Amerika Serikat, 1 universitas dari Perancis, dan 1 universitas dari Inggris untuk membuka kampus di Doha dan mengajar berbagai bidang keilmuan termasuk desain, ilmu komputer, jurnalisme, komunikasi, hubungan internasional, teknik, kedokteran, arkeologi dan bisnis. Para mahasiswa dan mahasiswi dan tenaga pengajarnya berasal dari berbagai bangsa. Pemerintah Qatar tidak anti asing dan tahu kalau produksi ilmu pengetahuan dan proses belajar mengajar akan menelurkan banyak hal baru, jika terjadi perpaduan banyak ide dan pendekatan dari tenaga-tenaga pengajar dengan berbagai latar belakang dan tradisi pendidikan.

Semua hal ini berjalan dengan baik tanpa Qatar harus memiliki dan memperingati Hari Pendidikan Nasional, walau sebenarnya Qatar memiliki tokoh nasional yang patut juga dirayakan hari lahirnya, karena idenya mengenai pendidikan atau tanggal spesial yang berkenaan dengan pendidikan. Sudah waktunya bangsa Indonesia membahas Pendidikan nasional lebih sering dan serius bukan hanya sekali setahun.

 

Anto Mohsin, Ph.D., pemerhati pendidikan di Qatar dan dosen di Liberal Arts Program, Northwestern University Qatar.